Senin, 25 Februari 2013

Pembelajaran Matematika Realistik


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu menghadapi banyak permasalahan. Permasalahan-permasalahan itu tentu saja tidak semuanya merupakan permasalahan matematis, namun matematika memiliki peranan yang sangat sentral dalam menjawab permasalahan keseharian itu (Suherman, 2003:65). Ini berarti bahwa matematika sangat diperlukan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari untuk membantu memecahkan permasalahan. Oleh karena itu, tidak salah jika pada bangku sekolah, matematika menjadi salah satu mata pelajaran pokok yang diajarkan dari bangku taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Namun, pada kenyataannya masih ada sebagian siswa yang merasa kesulitan dalam belajar matematika.
            Orientasi pendidikan kita mempunyai ciri cenderung memperlakukan siswa berstatus sebagai obyek; guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner; materi bersifat subject-oriented dan manajemen bersifat sentralis. Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan nyata yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian.
            Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam matematika (Sudharta, 2004). Rendahnya kemampuan matematika siswa disebabkan oleh faktor siswa yaitu mengalami masalah secara komprehensif atau secara parsial dalam matematika. Pembelajaran sejauh ini masih didominasi oleh guru, siswa kurang dilibatkan sehingga terkesan monoton dan timbul kejenuhan pada siswa. Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah suatu teori dalam pendidikan matematika yang dikembangkan pertama kali di negeri Belanda.
            Teori ini berdasarkan pada ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi melalui proses matematisasi baik horizontal maupun vertikal.
            Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika atau pun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita. Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) dimana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan, sebagai kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka.
            Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning, disingkat CTL). Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika.

B. Identifikasi Masalah
            Dari latar belakang di atas yang menjadi identifikasi masalah yaitu dapat meningkatnya hasil belajar matematika setelah proses pembelajaran dengan Pendidikan Matematika Realistik.

C. Batasan Masalah
Dalam penulisan ini masalah dibatasi pada pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).




D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:
1.      apakah pendekatan pembelajaran matematika realistik itu?
2.       Bagaimana penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik?

E. Tujuan Penelitian :
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari  penulisan ini adalah:
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pendekatan pembelajaran matematika realistik.
2.      Untuk mengetahui bagaimana penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik.

F. Manfaat Penulisan
            Adapun manfaat penulisan adalah sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi calon guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar sehingga proses pembelajaran berjalan seperti yang diharapkan.













BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Pengertian Pembelajaran Matematika Realistik
            Pembelajaran matematika realistik (PMR) adalah sebuah pendekatan belajar matematika yang dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute, Utrecht University di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan Hans Freudenthal (1905 – 1990) bahwa matematika adalah kegiatan manusia. Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Karena itu, siswa tidak Dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan guru. Proses penemuan kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Di sini dunia nyata diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun dapat dianggap sebagai dunia nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih penting daripada hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan istilah matematisasi, yaitu proses mematematikakan dunia nyata (Sudharta, 2004).
            Zulkardi (2001), mendefinisikan pembelajaran matematika realistik sebagai berikut: PMR adalah teori pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal ’real’ bagi siswa, menekankan ketrampilan ’process of doing mathematics’, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (’student inventing’ sebagai kebalikan dari ’teacher telling’) dan pada akhirnya menggunakann matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik individual maupun kelompok.
            PMR berdasarkan ide bahwa mathematics as human activity dan mathematics must be connected to reality, sehingga pembelajaran matematika diharapkan bertolak dari masalah-masalah kontekstual. Teori ini telah diadopsi dan diadaptasi oleh banyak negara maju seperti Inggris, Jerman, Denmark, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Brazil, USA dan Jepang. Salah satu hasil positif yang dipcapai oleh Belanda dan negara-negara tersebut bahwa prestasi siswa meningkat, baik secara nasional maupun internasional.
            Dua pandangan penting Freudenthal (dalam Hartono) tentang PMR adalah:
a.       Mathematics as human activity, sehingga siswa harus diberi kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas matematisasi pada semua topik dalam matematika,dan
b.      Mathematics must be connected to reality, sehingga matematika harus dekat terhadap siswa dan harus dikaitkan dengan situasi kehidupan sehari-hari.
            Konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. PMR mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut : siswa memiliki seperangkat konsep laternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya; siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri; pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi,penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan; pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman; setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika. Konsepsi tentang guru sebagai berikut: guru hanya sebagai fasilitator belajar; guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif; guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun sosial (Hartono).




B.     Karakteristik PMR
            Karakteristik PMR adalah menggunakan konteks ‘dunia nyata’ ,model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan (intertwinment) (Treeffers dalam Sudharta, 2004).

a.      Menggunakan konteks ‘dunia nyata’
            Dua proses matematisasi yang berupa siklus di mana ‘dunia nyata’ tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika.
       Dalam PMR, pembelajaran diawali dengan masalah konstekstual (‘dunia nyata’), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyaringan (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (dalam Sudharta, 2004) sebagai matematisasi konseptual.
       Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari (Cinzia Bonotto dalam Sudharta, 2004).

b.      Menggunakan model-model (matematisasi)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan Formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematika model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematik formal.
c.       Menggunakan produksi dan konstruksi
Streefland (dalam Sudharta, 2004) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.

d.      Menggunakan Interaktif
Interaksi antar siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam PMR. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.

e.       Menggunakan Keterkaitan (intertwinment)
Dalam PMR pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmatika, aljabar atau geometri tetapi juga bidang lain.
            Penerapan kelima prinsip tersebut dalam penulisan ini akan dilihat pada aktivitas yang dilakukan oleh guru maupun siswa. Penerapan masing-masing prinsip oleh guru dalam pembelajaran sebagai berikut. Prinsip pertama akan dilihat apakah guru memulai pelajaran dengan memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari dan memberi soal-soal pemecahan masalah yang sering terjadi dalam kehidupan siswa. Prinsip kedua, apakah guru menggunakan alat peraga yang membantu siswa menemukan rumus dan membimbing siswa menggunakannya. Prinsip ketiga, apakah guru memberi waktu kepada siswa untuk membuat pemodelan sendiri dalam mencari penyelesaian formal. Prinsip keempat, apakah guru memberi pertanyaan lisan ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung dan memberi penjelasan tentang materi dan penemuan siswa. Prinsip kelima, apakah guru memberi pertanyaan yang berkaitan dengan materi lain dalam mata pelajaran matematika atau materi mata pelajaran lain.
            Sutarto Hadi dalam Supinah (2004) mengemukakan bahwa teori PMR  sesuai dengan teori belajar yang berkembang saat ini seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual. Namun baik konstruktivisme maupun kontekstual  mewakili teori belajar secara umum, sedangkan PMR  suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Konsep matematika realistic sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki  pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan mengembangkan daya nalar. Lebih lanjut, berkaitan dengan konsepsi PMR ini, Sutarto Hadi mengemukakan beberapa konsepsi PMR tentang siswa, guru dan pembelajaran  yang mempertegas bahwa PMR pantas untuk dikembangkan di Indonesia.
a.       Konsepsi PMR tentang siswa.
1)      Siswa memiliki seperangkat konsep alternative tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
2)      Siswa memperoleh pengetahuan baru  dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.
3)      Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan , penyusunan kembali dan penolakan.
4)      Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman.
5)      Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.
b.      Konsepsi PMR tentang guru
1)      Guru hanya sebagai fasilitator  dalam pembelajaran.
2)      Guru harus mampu membangun pembelajaran yang interaktif
3)      Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk secara aktif terlibat pada proses pembelajaran dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil;
4)      Guru tidak terpancang pada materi yang ada didalam kurikulum tetapi aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil baik fisik maupun sosial.
c.       Konsepsi PMR tentang pembelajaran matematika.
1)      Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah yang riil bagi siswa  sesuai dengan pengalaman  dan tingkat pengetahuannya sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna.
2)      Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut.
3)      Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap permasalahan yang diajukan.
4)      Pembelajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya, setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan,mencari alternative penyelesaian yang lain dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pembelajaran.

C.    Prinsip Pendekatan Realistik
            Dengan mencermati prinsip pembelajaran PMR, pengertian PMR dibatasi penentuan masalah kontekstual dan lingkungan yang pernah dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari agar siswa mudah memahami pelajaran matematika sehingga mudah mencapai tujuan.
Prinsip utama dalam PMR adalah sebagai berikut (Gravemeijer, 1994:90):
1.        Guided re-invention (menemukan kembali) / progressive mathematizing. Siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan.Pembelajaran di mulai dengan suatu masalah kontekstual atau realistik yang selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan menemukan “kembali” sifat, definisi, teorema atau prosedur-prosedur.
2.        Didactical Phenomenology ( fenomena belajar bersifat mendidik). Dalam hal ini fenomena pembelajaran menekankan pentingnya masalah-masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa.
3.        Self-develoved model (pengembangan model sendiri). Kegiatan ini berperan sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Model dibuat siswa sendiri dalam memecahkan masalah.
     Sesuai dengan ketiga prinsip di atas, Asikin dalam Malihu (2006:12) mengatakan, proses pembelajaran matematika di kelas berdasarkan pendekatan matematika realistik (PMR) perlu memperhatikan lima karakteristik yaitu: (1) menggunakan masalah kontekstual; (2) menggunakan model; (3) menggunakan kontribusi dan produksi siswa; (4) interaktif; dan (5) terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya.  Dalam pendekatan PMR, isi perangkat pembelajarannya mencerminkan tiga prinsip kunci PMR, dan proses implementasinya di kelas berpedoman pada 5 ciri yang disebutkan di atas.  
D.    Langkah-langkah pembelajaran matematika dengan PMR
               Dunia nyata                                                              Dunia
                                                                                               
 
            Langkah-langkah pembelajaran matematika dengan PMR dapat digambarkan sebagai berikut (Sudharta, 2004):

Model matematika

 
Jawaban model
 
 







Gambar 1. Langkah-langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR

            Berdasarkan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa pembelajaran matematika realistik diawali dengan fenomena yang ada di dalam dunia nyata, kenudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi dalam model matematika kemudian membuat jawaban atas model matematika tersebut.Setelah itu diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.
            Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa dibawa ke ‘situasi informal’, misalnya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian kue) sehingga tidak terjadi loncatan pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal). Setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru dikenalkan istilah pecahan.Ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional (bukan PMR) di mana siswa sejak awal sudah dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.
            Jadi, Pembelajaran matematika realistik diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain. Jika digambarkan dalam bagan, sebagai berikut:
 















Gambar 2. Penemuan dan Pengkonstruksian Konsep
            Langkah-langkah dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik adalah sebagai berikut:
1.   Memahami masalah kontekstual. Guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahaminya. Pada tahap ini ”karakteristik” pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik adalah menggunakan masalah-masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal.
2.   Menjelaskan masalah kontekstual. Guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk atau saransaran (bersifat terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang belum dipahami siswa.
3.   Menyelesaikan masalah kontekstual. Siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Peran guru disini adalah memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri. Tahap ini siswa dibimbing untuk ”reinventio”’ (menemukan) sendiri tentang ide/konsep dari soal matematika secara progresif.
4.   Membandingkan dan mendiskusikan jawaban. Guru memberikan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban secara berkelompok.
5.   Menyimpulkan. Dari hasil diskusi, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep.
Sintaks pendekatan matematika realistik dapat dirumuskan sebagai berikut ;
No
Fase
Aktifitas
1
Menyajikan masalah kontekstual(F-1)
-          Guru memberikan masalah kontekstual dan mengarahkan siswa untuk memamahami masalah tersebut
-          Memberikan motivasi kepada siswa dalam kelompok untuk mengembangkan model yang yang mungkin
-          Menjadi fasilitator dan membangun pembelajaran yang interaktif.
2
Menjelaskan masalah kontekstual (F-2)
-          Siswa diarahkan untuk mengumpulkan informasi dari masalah kontekstual
-          Memberikan kesempatan kepada siswa untuk merencanakan penyelesaian sesuai dengan  model of yang diutarakan siswa.
-          Memberikan dorongan dan motivasi untuk melaksanakan dan mengembangkan rencana penyelesaian yang ditetapkan kelompok/siswa
3
Menyelesaikan masalah kontektual (F-3)
-          Siswa melaporkan/mempresentasikan hasil kerja kelompok. Siswa/kelompok lain menanggapi.
-          Guru memimpin diskusi,memberikan pertanyaan, dan mengarahkan siswa mencapai tujuan pembelajaran
4.
Membandingkan dan mendiskusikan jawaban (F-4)
-          Guru memberi pertanyaan lisan ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung dan memberi penjelasan tentang materi dan penemuan siswa.
-          Siswa memeriksa kembali hasil kerja kelompoknya
-          Menerapkan cara penyelesaian yang terbaik dan paling tepat dari cara penyelesaian yang telah didiskusikan sebelumnya.
5.
Menyimpulkan (F-5)
-          guru memberi pertanyaan yang berkaitan dengan materi lain dalam mata pelajaran matematika atau materi mata pelajaran lain.
-          siswa menghubungkan materi yang sedang dipelajari dengan materi lain dalam matematika dan pengetahuan dari mata pelajaran yang lain

E.       Kelebihan dan kelemahan PMR
            Menurut pendapat Suwarsono (dalam Hasratuddin, 2002 : 24) terdapat beberapa kelebihan dari PMR, antara lain sebagai berikut:
1.      Memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari  (kehidupan dunia nyata) dan tentang kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
2.      Memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika merupakan bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa, tidak hanya bagi pakar dalam bidang tersebut.
3.      Memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus sama antara orang yang satu dengan yang lain. Setiap orang bisa menemukan dan menggunakan caranya sendiri asalkan orang tersebut bersungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan yang lainnya akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dan proses penyelesaian masalah tersebut.
4.      Memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan suatu yang utama, dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain misalnya guru. Tanpa kemauan untuk menjalani proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.
Sedangkan kelemahan dari PMR menurut Hasratuddin (2002:25) adalah sebagai berikut:
1.      Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah untuk dipraktikan,  misalnya mengenai peran siswa,  guru dan peran masalah kontekstual. Pada  PMR siswa tidak dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang sudah jadi, tetapi dipandang sebagai pihak yang aktif mengkonstruksi konsep-konsep matematika. Guru tidak lagi sebagai pengajar utama, tetapi lebih sebagai pendamping siswa. Peranan masalah kontekstual tidak dipandang sekedar sebagai wadah untuk menerangkan aplikasi dari matematika, tetapi justru digunakan sebagai titik tolak untuk mengkonstruksi konsep matematika itu sendiri.
2.      Pencarian masalah-masalah kontekstual yang nemenuhi syarat-syarat yang dituntut PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, lebih-lebih karena masalah tersebut harus dapat diselesaikan dengan bermacan-macam cara.
3.      Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan masalah merupakan hal yang tidak mudah dilakukan guru.
4.      Proses pengembangan berpikir siswa, melalui masalah kontekstual, proses matematisasi horizontal dan vertical juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana karena proses dan mekanisme siswa harus diikuti dengan cermat agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu.
5.      Dalam pembelajaran PMR terlalu banyak menghabiskan waktu.
6.      Bagi kelas yang banyak siswa dalam lebih dari 20 orang guru sulit mengamati dan memberikan petunjuk atau bantuan kepada siswa dalam pembelajaran.
7.      Penilaian untuk pembelajaran dengan realistik bukan penilaian hasil, tetapi lebih mengutamkan proses sehingga lebih sulit dan kompleks

















BAB V
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat diambil  kesimpulan antara lain:         
a.       Pendekatan Pembelajaran Matematika Realisik adalah teori pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal ’real’ bagi siswa, menekankan ketrampilan ’process of doing mathematics’, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (’student inventing’ sebagai kebalikan dari ’teacher telling’) dan pada akhirnya menggunakann matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik individual maupun kelompok.
b.      Penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik dapat dilakukan dengan langkah-langkahnya yaitu sebagai berikut:
1.      Memahami masalah kontekstual
2.      Menjelaskan masalah kontekstual
3.      Menyelesaikan masalah kontekstual
4.      Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
5.      Menyimpulkan

B.     Saran
             Akhir dari penyajian makalah ini penyusun menyarankan kepada rekan sejawat khususnya guru mata pelajaran matematika agar dapat menerapkan metode Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) saat mengajar matematika dalam upaya meningkatkan aktivitas belajar siswa.


                                               

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M., (1999), Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, PT Rineka Cipta, Jakarta
Al.Krismanto, (2003), Beberapa Teknik, Model, dan Strategi Pembelajaran Matematika, Makalah disampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembangan Matematika SMU Tgl. 28 Juli s.d. 10 Agustus 2003, Yogyakarta: Tidak Diterbitkan
Al.Krismanto, (2004), Model-model Pembelajaran Matematika SMP, Makalah disampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembangan Matematika SMP Jenjang Dasar Tgl. 10 s.d. 23 Oktober 2004, Yogyakarta: Tidak Diterbitkan
Ambarita, J., (2006), Strategi Belajar Mengajar Matematika, FMIPA UNIMED, Medan
Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktur Pendidikan Lanjutan Pertama (2004). Materi Pelatihan Terintegrasi, Matematika
Departemen Pendidikan Nasional, (2007), Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Matematika SMP/MTs
Djamarah,B.Syaiful.1997.Strategi Belajar Mengajar. Jakarta; Rineka Cipta
Saragih, S., (2007), Menumbuhkembangkan Berfikir Logis dan Sikap Positif Siswa TerhadapMatematika Melalui Pendekatan Matematika Realistik, http://zainurie.files .wordpress.com/2007
Saragih, S., (2007), Mengembangkan Kemampuan Berfikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pendekatan Matematika Realistik, Disertase Doktor pada PPS UPI. : Tidak Diterbitkan
Saragih, S., (2008), Pengaruh Pendekatan Matematika Realistik Terhadap Kemampuan Berfikir Logis Siswa Sekolah Menengah Pertama, Jurnal Kependidikan No.1, Vol. XXXII, Tahun 2008, (4-12)
Sihombing, W.L., ( 2006 ), Telaah Kurikulum Matematika Sekolah,FMIPA Unimed, Medan.
Sujono, (1988). Pengajaran Matematika Untuk sekolah Menengah. Depdikbub: Jakarta.
Tim MKPBM, (2001), Strategi Pembelajaran Matemamtika Kontemporer, Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA UPI, Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar